Selasa, 22 Desember 2009

TAQWA MEMPERBAIKI DIRI

Dari Khutbah Idul Fitri 1430 H

Taqwa Untuk Memperbaiki Diri

“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang yang selalu berbuat baik”. (QS An Nahl 128)


Pada hari yang berbahagia ini, marilah lisan kita senantiasa menyanjung Asma Allah Sang Pencipta Yang Maha Agung, yang telah mencurahkan karunia dan nikmatNya tanpa henti. Nikmat Allah menuntut kita untuk selalu bersyukur dan tawadu’. Seruan gema Takbir dan tahmied menuntut kita untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah di manapun berada. Sebaik-baik bekal adalah ketaqwaan yang menghunjam kuat di dalam hati seorang muslim. Allah berfirman, An Nahl 128 :
“Dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa”, karena itu, para jama’ah shalat Idul Fitri, marilah kita tingkatkan ketaqwaan secara lahir maupun batin. Bertaqwalah kepada Allah di manapun dan kapanpun. Pegangi dengan erat keyakinan kita sampai ajal menjemput.
Insan muslim yang sejati, ialah yang selalu mengusung bendera ketaqwaan di sepanjang umurnya dengan pakaian taqwa yang menghiasi kehidupannya. Amal kebaikan dan menjauhi segala maksiat menjadi tradisi dan budayanya sampai ajal menjemputnya.

Musim kebaikan menjadi masa panen baginya, menambahnya antusias dalam menjalankan segala amal saleh sesuai dengan kemampuannya. Jika masanya telah usai, pengaruh positifnya akan membekas sepanjang hidupnya, dan dapat disaksikan orang lain.

“Bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa Allah senantiasa bersama orang-orang yang takwa” (QS Al Baqarah 194)
Taqwa sering diartikan sebagai sikap takut kepada Allah dengan menjaga pikiran, hati, lidah dan tindak-tanduk kita dari semua yang membuat Allah murka. Didalamnya terkandung pengertian takut (الخشية) dan penjagaan (الوِقَاية).
Dari ayat singkat di atas dapat dipahami dengan mudah kenapa Allah sering tidak bersama kita dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara? Sekiranya kita memang orang bertakwa dan bersyukur, sekiranya kita memang mendapatkan manfaat dari puasa dan ibadah yang kita lakukan, tentu kita tidak berada dalam keadaan seperti sekarang, seperti ditinggalkan oleh Allah dan di temani oleh setan. Boleh jadi kita lupa bahwa setan itu adalah musuh manusia yang nyata yang harus dan tetap dipandang sebagai musuh.
إنَّ الشَّيطانَ لكم عدُوٌّ فاتّخِذُووهُ عَدُوًّا
Allah adalah pemimpin tertinggi kita yang harus selalu dijadikan pemimpin.
Masih segar dalam ingatan, betapa besarnya kerinduan hati kita untuk dapat menjumpai bulan suci Ramadhan. Kapankah engkau datang lagi? Kita pun berharap cemas, apakah akan dikaruniai umur panjang sehingga mampu mereguk pancaran berkah dan pesona sucinya? Do’a senantiasa menghiasi bibir kaum muslimin, demi menggapai tebaran ampunan dan rahmat yang dijanjikan di dalamnya. Segala persiapan rohani dan jasmani diintensifkan untuk menyongsong tamu agung, supaya dapat mendayagunakan detik demi detiknya yang berharga dalam ketaatan.
Sekarang, ternyata bulan yang telah ditunggu sudah melambaikan tangan perpisahannya kepada umat Islam dengan segala ragam amalannya. Detik-detiknya yang bernilai telah pergi tanpa toleransi. Ia akan menjadi saksi yang baik atau penggugat yang menyulitkan. Demikianlah, perjumpaan selalu harus diakhiri dengan perpisahan. Sejuta macam rasa menyelimuti dada setiap insani yang mengaku beragama Islam.
Tidakkah kita meneladani para generasi dahulu yang akan hancur perasaannya, sedih, terisak menangis saat berpisah dengan ramadhan? Hati mereka didera rasa takut dan pengharapan. Bisikan lirih mereka, semoga Allah menerima amal saleh kami, mengampuni dosa dan kesalahan kami, membebaskan kami dari jeratan siksa neraka, dan senantiasa menaungi kami dengan taufik dan hidayahNya di masa depan. Ya, Allah Yang Maha Pengasih, jadikanlah kami orang-orang yang ikhlas dalam beribadah kepadaMu. Dan terimalah amalan kami. Sesungguhnya Engkau Maha mengabul-kan permohonan.
Para generasi salaf sangat khawatir jika amalan mereka sia-sia, tidak bernilai di sisi Allah Ta’ala. karena itu, mereka selalu meningkatkan frekuensi do’a pada bulan suci, dengan harapan jerih payah mereka diterima Allah. Allah berfirman artinya:
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka, (QS Al-Mukminun: 60)
Aisyah pernah menanyakan, siapakah yang dimaksud dalam ayat tersebut? Apakah mereka orang yang berbuat zina, mencuri dan menenggak minuman keras? Rasulullah menjawab:
“Bukan demikian, wahai putri Abu Bakar. Mereka adalah orang yang mengerjakan shalat, berpuasa, dan bersedekah dan merasa khawatir amalan mereka tidak diterima oleh Allah. (Ibnu Majah dan Ahmad). Sementara Allah berfirman artinya:
“Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertaqwa. (QS Al Maidah: 27)
Secara cerdas, kita seyogyanya menimbang dan menganalisa aspek keuntungan atau kerugian yang telah raup selama bulan Ramadhan. Yang utama ialah istiqamah (kontinuitas) amalan shaleh yang dikerjakan selama Ramadhan.
Barangsiapa kondisinya setelah bulan suci Ramadhan menjadi lebih baik dari sebelumnya, dengan antusias terhadap kebaikan, menjaga shalat jama’ah di masjid, selalu rajin bertaubat dan istiqamah serta jauh dari maksiat, maka demikian ini insya Allah menjadi indikator amalan shalehnya di bulan suci Ramadhan diterima.
Adapun orang yang tidak mengalami perubahan signifikan menuju keadaan yang lebih baik, meskipun ia terlihat semangat dalam bulan Ramadhan, namun akan mudah terkoyak oleh maksiat di kemudian hari, alergi terhadap kebaikan, menyia-nyiakan shalat, tidak menjaga pendengaran, penglihatan dan anggota tubuhnya dari perkara haram.
Yang lebih memprihatinkan lagi jika ada yang grafik amalan-amalan buruknya meningkat, lebih carut-marut dari sebelumnya, semakin tidak respek terhadap kebaikan. Aktifitasnya tidak berdaya guna bagi dunia maupun akhiratnya, nihil, nol besar. Orang yang baik, ia musuhi, bahkan berusaha mematahkan dan melecehkan semangat dan menutup kran kebaikan plus membuka lebar-lebar pintu keburukan. Na’udzu billah mindzalik. Ya, Allah Yang Maha Pengampun, ampunilah keteledoran mereka, bukalah mata hati mereka untuk menerima cahaya wahyuMu, karuniailah mereka taubat sebelum ajal menjemputnya.
Sangat aneh kalau ada orang yang mengenal kebaikan hanya di bulan Ramadhan saja. Ketika usai perhelatannya, maka itu menjadi batas akhir kebaikannya. Sebagian ulama terdahulu pernah ditanya tentang sekelompok orang yang hanya beribadah di bulan Ramadhan saja, dan serta merta akan meninggalkannya usai Ramadhan. Maka ia berkomentar: “Mereka adalah termasuk manusia yang buruk, tidak mengenal Allah kecuali di bulan Ramadhan saja?!”

“Dan apabila kamu menyeru mereka untuk mengerjakan shalat, mereka menjadikannya ejekan dan mainan, demikian itu karena mereka termasuk kaum yang tidak mau mempergunakan akal”. (QS Al Maidah 58)
Bertakwalah, wahai hamba-hamba Allah! Apakah kebaikan dikenal hanya di bulan Ramadhan saja? Mengapa kita malas berbuat baik, menegakkan shalat jama’ah, gemar membaca al-Qur`an, memperbanyak dzikir, mengerjakan shalat malam, berpuasa, mengenakan busana muslim hanya di bulan suci saja? Mengapa kita melupakan Allah setelah Ramadhan? Mengapa melupakan jati diri kita sebagai Muslim yang taat pada Ramadhan? Bukankah kita lebih menyukai mendapatkan hidayat dari pada tersesat? Bukankah kita mendambakan kebahagiaan dunia dan akhirat? Bukankah ketaatan harus kita lakukan, dan maksiat harus kita jauhi setiap saat? Mengapa terjadi diskriminasi ini? Bukankan kita merindukan surga? Bukankah kita tak ingin tercampakkan di neraka yang hina? Kita memang sering menipu diri sendiri. Sungguh suatu tindak kesalahan yang fatal, jika seseorang rela larut dalam degradasi moral dengan maksiat dan kejahatan, setelah melewati bulan penuh berkah ini.
Pengaruh positif puasa seharusnya tetap membekas di dalam hati setiap muslim. Peningkatan ketaqwaan, solidaritas sesama muslim, sabar, rasa kasih, pengorbanan harus terwujud seperti yang dikemukakan Al-Qur’an yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS Al Baqarah: 183)
Bertaqwa kepada Allah, manfaatkan sisa umur dengan kebaikan, selaraskan ucapan dengan tindakan. Usia manusia sebenarnya masa yang ia habiskan dengan amalan saleh dan ketaatan. Sedangkan masa yang dipergunakan dengan perbuatan sia-sia atau tindakan haram akan hilang dengan sia-sia. Sampai kapan kelalaian akan disadari?
Hendaknya kita camkan baik-baik, bahwa ketidakberdayaan dan kelemahan yang mendera umat Islam serta perpecahan yang mencerai-beraikan umat, tidak lain lantaran kejahilan sebagian kita tentang agama Allah, dan kecilnya porsi pemanfaatan kita terhadap musim-musim kebaikan. Pasalnya, aturan agama dan musim kebaikan tidak mampu berperan aktif di kalbu kita yang telah usang karena kejahilan dan kebodohan, dan akibat banyaknya kerak dosa yang menjadi penghalang masuknya sinar wahyu.
Namun, jika umat mampu konsisten dan istiqamah dalam beribadah kepadaNya, tidak meremehkan musim kebaikan dan tidak merusak apa yang telah ia perbuat, tidak mudah menyerah pada tipu daya syetan dan sekutunya, niscaya dengan kehendak Allah, umat akan memegang kendali kemenangan, izzah dan keselamatan.
Diantara yang perlu kita lakukan untuk membasmi gejala buruk ini, yaitu dengan menggalakan semangat saling menasihati dan mendukung antar sesama muslim, dengan cara yang hikmah dan metode yang ideal sesuai dengan kemampuan.
Bertaqwalah kepada Allah di setiap waktu. Tekunilah ibadah dengan baik. Bersyukurlah dengan kenikmatanNya yang tidak terhitung. Ramadhan merupakan kesempatan yang ideal untuk berintropeksi diri. Ramadhan dan Idul Fitri merupakan momentum paling penting untuk merubah diri menuju keadaan yang lebih baik, lebih diridhai Allah dan RasulNya.
Namun demikian, sekali lagi, kepergian Ramadhan bukan berarti kemandulan dalam beramal. Perpisahan dengan Ramadhan bukan berarti menipisnya semangat untuk beribadah. Pintu kebaikan yang lain masih terbuka lebar. Pahala-pahala Allah masih ditebar. AmpunanNya senantiasa tergapai bagi hati yang bergetar, yang bertaubat dengan benar lagi bersimpuh sesal. Mana orang-orang yang akan memasuki pintu-pintu rahmat yang telah terbuka lebar ini? Mana orang-orang yang sudi menyisingkan lengan baju untuk menghimpun kebajikan meski Ramadhan telah melambaikan tangannya? Hanya orang-orang yang bertaqwa yang akan menyambut panggilan Ilahi. Orang yang bijak, adalah sosok yang giat dalam beribadah sampai ajal datang menjemput, dan ia selalu merenungi cepatnya perjalanan umur dan dekatnya kematian.
وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ قَالُوا سَمِعْنَا وَهُمْ لاَ يَسْمَعُونَ
“Janganlah hendaknya kamu seperti yang mereka katakan: “Kami ada mendengar” dan pada hal sebenarnya mereka itu tuli”.
Alangkah senangnya kalau zaman dahulu putri remaja anak nagari Minangkabau selalu memakai baju kurung dengan salendang balilik di kapalo.
Di era globalisi ini alangkah sedihnya hati kita menengok putri remaja kita sudah melecehkan baju kurung menggantinya dengan celana slack, sempit dan ketat, pinggang terbuka dadanya terbelalak, hati siapa yang tidak sedih?
Pada hal orang tua kita sudah faham apa itu “Adat Basandi Syara’, syara’ basandi Kitabullah, Syara’ mangato adat memakai”.
Sekarang dimana letaknya? Tinggal hanya symbol saja. Apabila masyarakat Minangkabau mengamalkan falsafah adat diatas, sudah lama nagari kita ini makmur dan sejahtera. Tidak ada lagi kemiskinan.
Runtuhnya adat dan falsafahnya beriringan dengan runtuhnya rumah gadang, sejalan dengan robohnyo surau kami. Siapa lagi kalau bukan ninik mamak dan alim ulama nan ka managakkan limbago adat dengan syara’?
Manonyo niniak mamak, manonyo cadiak pandai, manonyo alim ulama, manonyo Bundo Kanduang nan ka manyapo anak kamanakan awak. Pada hal mereka tahu bahwa aurat wanita itu adalah seluruh badannya dari kepala sampai ke kaki kecuali muka dan telapak tangan.
Dahulu alangkah malunya keluarga yang tidak mengindahkan adat, tidak mengindahkan syara’, tidak mengacuh-kan syari’at Islam, tidak mau mengerjakan shalat, tidak pandai mengaji. Surau dan masjid ramai dikunjungi, tetapi sekarang mereka bangga dengan dunianya, lebih senang bernyanyi dari mengaji, lebih banyak di lapau bagurau dari berzikir di surau.
Ramadhan sudah berlalu, nan dahulu kapalo si upiak basaok, sabanta lai ka tegerai pulo abuaknyo bakeh nan rami. Ingat wahai pemimpin Islam, ingatlah wahai ummat Islam, ingat wahai Bundo Kanduang, apabila dosa dan maksiat semakin merajalela, Allah akan segera menurunkan azabnya.
Mungkinkah ini yang membuat negeri kita tak pernah berhenti dari malapetaka yang menimpa dan dari keterpurukan yang semakin melanda? Karena musibah tidak akan terjadi menimpa suatu negeri melainkan disebabkan oleh ulah tangan kebanyakan penduduknya (kemaksiatan yang mereka telah perbuat), sebagaimana disinyalir dalam banyak firman Allah subhanahu wata’ala diantaranya artinya,
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri”(QS. an-Nisa: 79)
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. ar-Ruum: 41)
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَنْ كَثِير
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. as-Syura: 30)
Camkanlah wahai saudaraku, kenapa hidup ini penuh penderitaan dan kesedihan? Tidak lain ulah tangan manusia juga.
Banyak orang di zaman globalisasi ini sudah tidak acuh lagi kepada Agama, bahkan sudah membelakanginya, sudah tidak merasa perlu lagi pergi shalat ke Masjid, sudah tidak perlu lagi berpuasa di bulan Ramadhan. Buktinya, banyak di warung-warung kedai tetap buka di bulan puasa, pasar lambung dan asongan makanan kaki lima dimana-mana ramai dikunjungi siang hari di bulan puasa, mereka tetap berjualan nasi kapau atau semacamnya. Banyak lapau-lapau ditutup pintunya di depan, tetapi dibuka dari belakang. Inilah orang-orang yang di cap munafik, suka berpura-pura puasa, tetapi perutnya sudah digasak disiang hari. Para sopir, para petani, para nelayan, para pemuda kebanyakan sudah tidak mengindahkan lagi rasa malu, minum, makan dan merokok di depan umum di bulan Ramadhan secara terbuka, terang-terang bak terangnya matahari. Ketika disapa, mereka berkata: “Urus saja diri kamu, tidak perlu mengurus diri orang lain”. Masya Allah.!
Ini adalah gejala sekularisasi, pemisahan hidup dengan agama, ini adalah pengaruh dunia globalisasi modern. Kalau sudah begini, nah tunggu saja azab Allah akan datang.
Oleh karenanya melalui mimbar ini kita berseru, sadarlah dan kembalilah kepada jalan yang benar dan lurus..
“Tunjukilah kami jalan yang benar, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan yang Engkau murkai dan bukan jalan yang sesat” Amin.
Semoga Allah memberikan taufikNya kepada kita semua untuk melaksanakan amal shaleh dan menjauhi laranganNya, serta menguatkan kita untuk berpegang kepada kebenaran sepanjang hayat di kandung badan. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, lagi Maha Mengabulkan.* (H.Zulharbi Salim)
*Khutbah ‘Idul Fitri 1 Syawal 1430 H di Masjid Darussalam, Bukit Gobak, Tanah Datar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Assalamu'alaikum wr.wb.
Pembaca Yang Budiman,
SELAMAT MEMBACA BULETIN MIMBAR ISLAM
Penerbit Lembaga Dakwah Pondok Pesantren AL HARBI PABALUTAN - BATUSANGKAR
Wassalam
Tim Redaktur